Widget HTML #1

Nama yang Singgah dalam Do'a #1DDA

Ilustrasi: DeviantArt

Jam menunjukkan tepat pukul 4.30 pagi. Sajadah yang dibentang sejak se-jam lalu masih diduduki seseorang yang sedang berkelahi dengan pikiran dan hatinya.

"Ini sangat tabu, ini tidak mungkin, tidaaaaaaakkkkk," jeritnya tak terucap. 

Tanpa disadari bulir dari kedua pelupuk matanya perlahan menetes di pipi. Ia mengucap nama itu. Nama yang amat tabu baginya untuk diucap, apalagi dalam do'a. Nama yang sengaja ia simpan rapat-rapat, hingga memberi tahu kepada Sang Khaliq pun membuatnya merasa malu dan bersalah.

***

"Adhira?"

"Adhira Ulya Fitria," pekik seseorang dari belakang.

"Iya kak, ada apa ya?" sifatnya yang santun tetap ia jaga walau tengah diguyur kakagetan dan sedikit kekesalan.

"Itu, sedotan minuman kamu lengket terus di mulut. Tapi kakak kok ga lihat ada sesuatu yang mengalir ya di sana?"

"Ah kak Ustadzah, kayak iklan pipa itu aja pake mengalir segala," guyonan Adhira kali ini berhasil memecah keheningan. Ia baru sadar ternyata hampir setengah jam tenggelam dalam lamunan, posisi sedotan masih melekat di bibirnya.

"Ini haa, sudah Adhira minum," ucapnya meyakinkan. Lesung pipinya yang manis terlihat samar saat ia sunggingkan bibir ranumnya ke atas.

Sikapnya yang ayu, kalem dan santun sungguh khas sekali. Walau sedang kesal, Adhira selalu mampu meneduhkan siapapun yang berada di dekatnya.  

Dan pagi itu Adhira baru saja menutupi gunda gulana yang tengah menerpa dirinya. Ia sama sekali tak ingin terbaca oleh siapapun soal ini, termasuk kepada Ismi Dila Fauziah, teman dekatnya sejak lima tahun silam.

Ismi tipikal wanita religius dan humoris. Adhira selalu nyaman berteman dengannya sejak kuliah S1 dulu. Baginya, Ismi adalah sosok yang banyak mengajarkan tentang arti kehidupan. Mengajarkan bagaimana cara berkasih sayang, bagaimana cara hadir tidak hanya dalam tawa, tetapi juga saat berada di titik terbawah.

Religius, penyayang dan super baik. Hal ini yang membuat Adhira selalu nyaman dan menganggap Ismi seperti kakak kandungnya sendiri. Ismi kerap tidur di rumah sewanya Adhira. Begitu pun sebaliknya, Adhira kerap tidur di rumah Ismi kala telat pulang mengajar privat tahsin.  

Adhira merupakan tipikal wanita pekerja keras. Baginya, hidup mandiri tanpa berpangku tangan pada orang tua adalah sebuah kebanggaan. Adhira bahkan kerap mengirim uang hasil gajinya ke orangtuanya di kampung. Bisa mengirim sesuatu pada ibu, baginya sebuah kebahagiaan yang tak ternilai harganya.

Selain itu, Adhira juga sosok wanita yang tak bisa melihat anak kecil. Kalau sudah berada di sekitaran anak-anak, jiwa keibuannya selalu menonjol dan terlihat begitu natural dibandingkan teman-temannya yang lain, bahkan Ismi sekalipun.

Selama lima tahun berteman, semua hal tentang Adhira diketahui oleh Ismi. Tetapi ada satu hal yang tidak diketahui Ismi hingga saat ini, yaitu soal perasaan Adhira kepada nama yang kini berani singgah dalam do'anya, nama yang ia selip usai shalat malamnya. Entah sampai kapan Adhira sanggup memendam soal ini sendirian. 

***

"Siap ngajar, Adhira nyusul ya kak," ucapnya terburu-buru. Diketahui, selain mengajar privat tahsin, ia juga mengajar di sebuah sekolah swasta di kotanya. Adhira hanya bekerja paruh waktu di sana. Tugas utama tetap menyelesaikan kuliahnya di Pascasarjana (S2) Prodi Psikologi. 

Pekerjaan paruh waktu Adhira yang kemudian mampu menghidupinya tanpa harus meminta transfer setiap bulan dari orangtua. Alih-alih minta transfer, malah ditransfer balik walau tak rutin. Ia membiayai kuliahnya dengan sisa gaji dari les privat siang malam dan mengajar di sekolah tempat ia mengais rupiah, tempat ia belajar tentang kehidupan, kasih sayang dan perjuangan.

Ia punya murid dengan jumlah yang tak sedikit, kelas pagi ini saja mencapai 35 orang. Jika terlambat, baginya adalah sesuatu yang sangat fatal, ia seolah sedang mengajarkan satu pelajaran buruk tentang kedisiplinan kepada muridnya. Ia tidak ingin menjadi contoh buruk.  

"Pagi ini, ibu akan cerita tentang kebaikan Rasulullah Saw kepada seorang nenek yang begitu benci padanya. Ada yang mau dengar?" tanya Adhira kepada muridnya.

"Mau buuuuuu," jawab mereka serentak, polos.

"Baiklah. Dulu di sebuah sudut di Kota Madinah ada seorang nenek buta yang begitu benci pada Rasulullah Saw. Kepada siapapun yang datang, si nenek berkata: Jangan pernah engkau dekati Muhammad. Dia itu orang gila, pembohong, dan tukang sihir.

Kemudian, saat itu ada seseorang yang begitu baik mendengar keluh kesahnya, membawanya makanan dan menyuapi si nenek ini setiap pagi. Hingga suatu ketika seseorang yang setia setiap pagi menyuap si nenek itu meninggal dunia. Lalu pekerjaan tersebut digantikan oleh sahabat. Dan..

Kenapa ini keras sekali. Pasti kali ini yang menyuapiku bukan orang yang selama ini kan? Sebab kalau dia yang dulu, sebelum menyuapiku ia melumatkan dulu makanannya. Sekarang kamu ini siapa? tanya nenek itu tegas.

Kemudian pria ini menangis sejadi-jadinya sambil berkata: Orang yang mulia itu telah tiada. Dia adalah Rasulullah Saw. 

Kemudian nenek itu berkata: Benarkah demikian? Berarti selama ini aku selalu menghina, memfitnah, dan menjelek-jelekan Muhammad. Padahal, belum pernah aku mendengar dia memarahiku sedikit pun. Dia yang selalu datang kepadaku setiap pagi dengan membawakan makanan. Dia begitu mulia.

Si nenek itu pun sedih sejadi-jadinya, seolah tak percaya bahwa yang ia jahatin selama ini adalah seseorang yang menyuapi dirinya setiap pagi. Dan akhirnya nenek itu pun masuk Islam di hadapan pria itu yang tak lain adalah Abu Bakar, Sahabat Rasulullah Saw yang menggantikan beliau. 

Inti dari cerita ini, buat anak-anak ibu sekalian, jangan pernah jahat sama orang lain ya. Bahkan saat mereka jahat kepada kita, kita harus tetap berbuat baik kepada mereka," tutup Adhira menuntaskan ceritanya.   

Selesai mengajar, ia usap layar ponselnya. Tiba-tiba ada lima panggilan tak terjawab. Terpampang jelas nama yang tak asing baginya, Kak Ustazah Ismi. 

Ia buka WhatsApp sembari membaca sebaris kata singkat, "Assalamualaikum. Kakak tunggu ya."  

***

"Kak, kenapa ya jus alpukat punyaku susu coklatnya sedikit," ucap Adhira polos di suatu ketika kala jalan-jalan sore.

"Mungkin tunggu jus alpukat lain yang bisa melengkapi," mata Ismi nanar seolah memberi kode ingin melucu.

"Kan ada kak Ismi di sini, kenapa harus tunggu melengkapi segala," tukas Adhira.

"Kan kakak ga suka jus alpukat, kakak sukanya jus mangga, ga ada susunya," jawaban Ismi kali ini telak memecah tawa Adhira.

"Apa perlu aku sampaikan di syarat CV kak? Salah satu poinnya, wajib suka jus alpukat!" jawab Adhira yang tahu betul bahwa Ismi yang religius itu paling demen guyonan soal jodoh.

"Ah garing ah, garing, garing," kebiasaan Ismi kala Adhira mulai melawak.

Sore itu seperti biasa, menikmati senja ditemani seabrik guyonan soal jodoh. Meski begitu, Adhira tetap saja menutupi dirinya tentang seseorang yang amat ia kagumi sejak lama itu. Seseorang yang kini malah berani singgah dalam do'a.
[1]  [2]  [3]  [4]  [5]  [6]

Post a Comment for "Nama yang Singgah dalam Do'a #1DDA"