Widget HTML #1

Perjalanan S2 dan S3 Khalfan yang Menginspirasi #DDA4

(dok. ALAMY/The Sun)

K-h-a-l-f-a-n spasi enter. Mendadak puluhan akun muncul di kolom pencarian Instagram dengan nama yang sama.

Mata Ismi masih nanar. Jarinya sibuk ke sana kemari menelusuri pemilik akun dengan nama yang membuatnya penasaran setengah mati. Satu per satu ia buka dengan sabar dan teliti, ia yakin pria itu tak jauh-jauh dari sini.

Khalfan adalah nama yang terucap dari bibir seorang Adhira Ulya Fitria dalam tidur panjangnya waktu itu. Pria yang membuat teman kesayangan rasa adik kandungnya itu tak nyenyak tidur, sering murung sendiri, bahkan berani menangis spontan akhir-akhir ini.


Ada banyak sekali akun yang dibuka Ismi, sekadar mencari tahu siapa itu Khalfan, pria yang begitu dinanti Adhira. Hanya saja, usaha Ismi tak membuahkan hasil. Khalfan yang dimaksud, sama sekali tidak ditemukan.

Ismi tahu betul kriteria yang diinginkan Adhira seperti apa. Dan itu tidak ada pada akun-akun yang dibukanya sejauh ini.

Hanya saja, bukan Ismi Dila Fauziah namanya kalau menyerah di tengah jalan. Ia mencoba cara lain yang sekiranya bisa memudahkannya menemukan siapa itu Khalfan.

Tiba-tiba pikirannya mengarah ke Google. 'Khalfan spasi enter', di halaman dan baris pertama langsung muncul sebuah blog. Dan tiba-tiba..

"Deer...deeerrr...deeerrrr," suara motor matic Adhira semakin dekat.

"Kak Ismiiiiiiiii," teriak Adhira dari teras. Motornya belum mati. Ismi pun muncul sambil membuka pintu pagar.

Seperti biasa, Adhira langsung nyelonong ke kamar Ismi tanpa permisi. Secepat kilat Ismi berlari ke laptop dan handphone yang masih menyala di atas kasur.

"Pluppp," suara layar laptop ditutup mode sleep dengan cepat oleh Ismi. HP-nya yang masih menyala, langsung ia tarik dari kasur.

Dalam hati Ismi berbisik, "Adhira, kamu jangan sampai tahu kalau jiwa stalking seorang Ismi tak bisa diajak kompromi, hehe."

"Hayooo, kakak lagi stalking siapa," ucapan Adhira kali ini bak palu menghantam kepala Ismi. Jantungnya berdetak lebih kencang, badannya langsung panas dingin.

"Apaan sih, kakak lagi riset nih untuk persiapan jadi pembicara di workshop itu lho, yang pekan depan," ucap Ismi yang pandai menguasai situasi.

"Ya udah, nih Adhira beli stik coklat, wafer, kripik kentang, minuman sari buah, dan buaaanyak nih. Makan ya kakak ustadzahku," ucap Adhira sambil membuka sekotak stiki coklat kesukaan mereka berdua.

***

Satu jam sebelum Adhira tiba

"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya. Semoga tidak salah lagi," ucap Ismi bahagia dalam hati.

Halaman dan baris pertama di pencarian google itu langsung muncul nama blog www.bukankaryakhalfan.com. Ada semacam thumbnail kecil, tidak terlihat jelas siapa pria di dalam sana.

"Klik," mesin laptop dan sinyal hotspot HP Ismi bekerja keras menelusuri blog yang seolah menjadi titik terang siapa pria bernama Khalfan itu.

Matanya kembali nanar. Ada lima postingan di halaman depan blog Khalfan. Di antaranya, tiga postingan pertama semacam abstrak penelitian ilmiah dengan tulisan 'terindeks Scopus', kemudian dua postingan selanjutnya tentang tips menulis dan menyiapkan esai untuk beasiswa Chevening.

Perlu diketahui, Scopus adalah salah satu database (pusat data) sitasi atau literatur ilmiah yang dimiliki oleh penerbit terkemuka dunia, Elsevier (Dunia Dosen, 2019). Semua dosen, peneliti dan profesor berlomba-lomba agar risetnya terindeks database ini. Sulit sekali untuk tembus Scopus.

Setelah di-scroll kilat, ada tiga logo media sosial di bagian paling bawah blog itu. Tanpa pikir panjang, Ismi langsung klik gambar berlogo Instagram.

"Redirect," tulis di layar laptopnya.

Seketika terbuka sebuah akun bernama @mkib112, foto profilnya, seorang pria muda sedang menyampaikan pidato di mimbar kehormatan PBB. Kemudian di bio Instagramnya tertulis La haula wala quwwata illa billah.

"Fiks, ini dia," ucap Ismi sembari menitikan air mata bahagia. Sebab orang yang dicarinya mirip dengan kriteria yang diinginkan Adhira.

Tidak seperti akun lain dengan nama Khalfan, tapi postingan mereka sangat tidak Adhiramable (tidak cocok untuk kriteria Adhira, postingannya aneh-aneh).

Setelah bergeser sedikit ke bawah, ia coba telusuri postingan terbaru di feed-nya Khalfan. Dan isinya...

06 Februari

"Hari ini adalah hari terpenting dan amat spesial dalam hidup saya. Hari di mana semua orang yang sayang pada saya menangis haru bahagia.

Mama memeluk dan mencium saya saat itu. Mama menangis bahagia. Saya? Jangan ditanya, mungkin saya yang paling kuat tangisnya hari itu.

Ya, itulah 06 Februari. Hari di mana saya mendapat email lulus seleksi akhir dari Tim Beasiswa Chevening, dan mulai membayangkan tentang bagaimana kehidupan di Inggris nantinya.

Hari itu, saya yang anak kampung, berasal dari keluarga miskin, kini diterima oleh salah satu beasiswa favorit sejuta umat.

Siapa sih yang tak senang kuliah di negeri Ratu Elizabeth. Pernah menjadi pusat peradaban di Eropa, sejak dulu hingga saat ini.

Saya seperti menemukan titik balik, semacam turning poin dari banyaknya kegagalan demi kegagalan yang saya lalui untuk mengusahakan mimpi-mimpi saya.

Terima kasih 06 Februari. Kau lebih cepat dari biasanya. Harusnya pengumuman akhir beasiswa itu di awal Juni, tetapi karena sesuatu dan lainnya (sedikit perubahan kebijakan khusus di tahun itu), akhirnya kau lebih cepat dari biasanya. Sekali lagi, kau lebih cepat dari biasanya.

06 Februari, kau begitu indah saat lima tahun lalu, tetap indah hingga tahun ini dan tahun-tahun berikutnya.

Terima kasih buat semua yang sudah mendoakan saya, sayang sama saya dan berkorban banyak untuk saya sejauh. Dari hamba Allah yang dhaif dan lemah. Muhammad Khalfan Ibrahim," tulis panjangnya di caption dengan foto layar laptop berisikan email dari Tim Beasiswa dan ada logo Chevening di atasnya.

Ismi yang membaca habis caption tersebut seolah larut dalam suasana haru nan mendalam terhadap apa yang ditulis Khalfan.

"Siapa Anda sebenarnya Khalfan, eh Muhammad Khalfan Ibrahim," ucap Ismi pelan penuh tanya.

Kemudian ia kembali ke feed Instagram dan kembali men-scroll postingan Khalfan lainnya. Tangan Ismi terhenti pada sebuah foto anak kecil berambut pirang, pipinya dicubit gemas oleh Khalfan dalam foto itu. Mereka tertawa bahagia sekali.

"Pagi ini mendampingi Tim Unicef mewakili PBB berkunjung ke sebuah panti asuhan untuk anak-anak hasil perkosaan dan korban kekerasan keluarga.

Siapapun kalian ayah dan ibu dari anak-anak suci tanpa noda ini, tidakkah kalian punya hati. Kenapa kalian tega terlantarkan mereka. Kalian tega membiarkan buah hati kalian berdiam kaku tanpa bisa menjawab siapa ayah dan ibu mereka saat ditanyai orang-orang kala dewasa nanti.

Percayalah, memanusiakan anak adalah memanusiakan hidup dan memanusiakan masa depan dunia. Sebab semuanya ada di tangan mereka yang lucu-lucu ini. Berhenti menghancurkan hidup mereka. #unicef," tulis Khalfan di caption postingan Instagramnya.

Kali ini Ismi tak tahan, air matanya tumpah. Tulisan Khalfan kali ini membuatnya lebih cengeng dari Adhira dalam beberapa bulan terakhir.

"Ya Allah. Jangankan kamu Adhiraaa, malaikat juga tahu. Khalfan adalah.., ups, cari postingan lain Ismi, tenang, keep calm please," ucap Ismi dalam hati, sembari mengatur nafasnya yang sejak tadi mulai tak beraturan.


Tangannya kembali bergerilya ke bawah. Ia scroll pelan-pelan feed Instagram Khalfan layaknya seorang detektif mencari barang bukti baru. Entah itu mengejutkan, atau malah mengecewakan nantinya.

Tangan Ismi kembali tertahan pada sebuah postingan. Sebuah video berdurasi 20 menit yang diunggah Khalfan di feed IG TV miliknya.

"Assalamualaikum teman-teman. Perkenalkan nama saya Khalfan. Di video kali ini saya akan bercerita bagaimana saya bisa sampai di sini (Inggris), kuliah dengan beasiswa Chevening di salah satu kampus ternama yakni Goldsmiths, University of London.

Sebelumnya saya ingin yakinkan kepada teman-teman semua bahwa setiap manusia punya hak yang sama untuk bermimpi dan sukses.

Entah ia berasal dari kampung atau kota, dari keluarga miskin atau keluarga kaya, kita semua berhak meraih mimpi dan sukses, tidak ada satu orang pun yang bisa menghalangi atau menghentikan kita.

Saya bisa sampai di Inggris hingga detik ini, mungkin tak semulus jalan teman-teman yang lain. Saya sempat gagal hampir sembilan kali untuk apply beasiswa. Sudah ke mana-mana saya coba. Di awal, apply beasiswa pertama sampai ketiga, saya sering nangis kalau dapat email yang isi 'maaf bla..bla..'

Namun di akhir-akhir, saya seperti sudah terbiasa dan mulai berdamai dengan email-email menakutkan seperti itu. Saya bahkan menganggap gagal seperti sebuah kewajaran, sebuah kelaziman untuk saya. Gagal, ya sudah, emang harusnya begitu.

Hanya saja, saya tak patah arang. Sebab saya tahu, sebagai seorang muslim, saya sangat yakin kalau Allah Swt akan luluh dengan hambanya yang istiqamah/konsisten, tekun dan percaya akan kebesaran Tuhannya.

Di setiap apply, saya kadang merasakan amat kelelahan. Belum lagi biaya mengurus berkas, kursus persiapan IELTS, kursus persiapan esai dan banyak lagi persiapan lainnya yang tidak hanya mengorbankan waktu dan tenaga, tapi juga uang.

Mirisnya, saya tak berasal dari orang yang berada. Semuanya harus saya cari sendiri. Saya juga berasal dari kampung. Sangking kampungnya di tempat saya, sinyal HP pun tidak ada. Mau nelpon harus manjat pohon atau naik dataran tinggi dulu.

Bayangkan kalau saya menyerah hanya karena keadaan seperti itu, sekali lagi, mungkin saya belum berada di sini hingga detik ini.

Hingga suatu ketika sebuah keajaiban datang. Saya ingat betul waktu itu usai shalat Dzuhur. Saya duduk di caffee yang kebetulan tepat berada di depan masjid tempat saya melaksanakan shalat.

Waktu itu saya usai gagal apply beasiswa yang kedelapan kalinya. Usai mendapat email persakitan 'maaf bla..bla..' apply beasiswa yang gagal untuk kesekian kalinya.

Saya termenung lama. Air mata saya berurai banyak sekali. Saya terdiam seribu bahasa. Sesekali saya segugukan karena tak tahan dengan apa yang baru saja saya alami. Gagal untuk yang kedelapan kalinya. Sakit sekali.

Tanpa saya sadar ternyata ada dua orang yang duduk tepat di meja belakang saya. Mereka ternyata memperhatikan saya sejak tadi. Sudah hampir 15 menit dalam tangis panjang, mereka juga heran, hingga espresso panas yang dihidangkan di depan saya sejak tadi, kini tak mengepul lagi asapnya.

Mereka adalah yang kini saya panggil Abi. Waktu itu Umi belum diajak ke sini. Abi datang bersama penerjemahnya.

Pria yang kini saya panggil Abi itu berasal dari Uni Emirat Arab (UEA). Ia awalnya datang ke sini hanya untuk bisnis dan kerjasama investasi.

Hanya saja, setelah kejadian itu, ia hampir dua bulan sekali datang, bahkan bisa lebih cepat. Abi dan Umi jauh-jauh datang dari UEA, hanya untuk melihatku, sekali lagi, melihatku, tanpa embel-embel urusan bisnis.

Abi selalu datang bersama Umi dan seorang penerjemahnya. Mereka belum bisa berbahasa Indonesia, makanya perlu penerjemah saat berkomunikasi dengan saya yang sama sekali buta soal bahasa Arab, bahasa resmi di UEA.

Abi dan Umi adalah malaikat yang Allah Swt kirimkan dari langit untuk saya. Mereka adalah keajaiban di tengah keterbatasan dan ketidakmungkinan yang ada pada diri saya.

Setelah saya menceritakan semua perjuangan dan kegagalan saya, merekalah yang kemudian membantu menyiapkan semuanya untuk saya hingga bisa lolos beasiswa Chevening dan kuliah di Goldsmith University of London.

Mereka menyiapkan saya mulai dari karantina di lembaga kursus IELTS terbaik di Indonesia, plus paket lengkap menyiapkan esai dan segala berkas yang dibutuhkan untuk beasiswa jenis apapun di dunia.

Harga kursusku menyentuh di angka Rp 90-an juta. Dengan fasilitas mendekati hotel bintang empat dan tempat belajar yang nyaman, tutor para lulusan S3 dan sistem belajar yang luar biasa, hanya enam bulan, aku siap tempur dan dijamin lolos seleksi beasiswa.

Tempat kursus ini punya garansi yang super duper keren. Jika gagal diterima apply beasiswa, maka uang dikembalikan tiga kali lipat. Itulah yang membuktikan bahwa mereka memang lembaga kursus terbaik di Indonesia.

Semua itu berbanding terbalik dengan kehidupan saya selama ini. Saya hanya mengikuti lembaga kursus murah dengan fasilitas dan tutor seadanya. Saya sadar diri sebab tak bisa masuk tempat kursus yang mahal-mahal, karena saya hanya seorang pekerja serabutan dengan ikut-ikutan dosen membantu riset di salah LSM lembaga riset.

Pendanaannya sangat pas-pasan, kami dapat berkah hanya di waktu-waktu tertentu saja, seperti jelang Pemilu atau Pilkada dan beberapa momen penting lainnya. Sebab saat-saat seperti itu banyak donatur yang ingin dan butuh hasil riset kami.

Selebihnya, ya sudah tahu sendiri bagaimana kehidupan dunia LSM, malahan dari kantong kami sendiri uang yang keluar.

Untungnya di situ banyak dosen-dosen, jadi untuk jajan bagi saya seorang mahasiswa, amanlah dari kantong-kantongnya mereka. Dan uang dari situ yang kemudian saya cicil untuk persiapan tempur seleksi beasiswa.

Kembali ke Abi dan Umi. Mereka menjengukku ke tempat karantina dalam dua bulan sekali, bahkan bisa lebih cepat. Abi dan Umi jauh-jauh dari Uni Emirat Arab hanya untuk saya. 

Bahkan saya pun sampai saat ini belum tahu apa alasan sebenarnya mereka menjadikan saya sebagai ikon kebahagiaan bagi mereka. Hanya saja, saya selalu melihat ketulusan yang begitu kentara saat menatap mata mereka. Dan saya percaya itu.

Singkat cerita, saya pun akhirnya mendaftar beasiswa Chevening pada bulan Agustus. Saya masih takut, jika ini gagal yang kesembilan kalinya, bukan hanya saya yang sedih, tapi Abi dan Umi taruhannya.

Saya betul-betul all out (totalitas) pada masa itu. Bahkan saat lembaga kursus mengumumkan bahwa jikalau anak didik tidak ingin pulang, dibolehkan melanjutkan apply dari tempat kursus tersebut. Mereka mengizinkan siapapun tinggal selama dua bulan, bebas tidur dan memakai semua fasilitas di sana setelah masa kursus selesai.

Dan saya kembali diistimewakan sama Allah Swt. Saya dipertemukan dengan salah satu Profesor di Goldsmiths University of London, yang kebetulan teman Abi dari Uni Emirat Arab. Dia membimbing saya dengan sabar saat masa seleksi. Kami selalu berinteraksi melalui video conference.

Hingga akhirnya saya dinyatakan lulus pada 6 Februari. Pengumuman beasiswa Chevening harusnya di awal Juni. Tapi waktu itu karena ada sesuatu dan lain hal di Inggris yang membuat kebijakan berubah seketika, maka tahun itu kami lebih cepat pengumuman lulusnya. Cuma tahun itu, tahun sebelumnya dan tahun-tahun berikutnya, tidak ada lagi perubahan.

Karena saya punya sedikit basic riset akibat ikut-ikutan riset dosen saat S1 dulu di LSM yang saya ceritakan tadi, akhirnya saya sudah terbiasa dan tidak kaget lagi dengan yang namanya dunia riset.

Bak gayung bersambut, saya sangat diterima di kampus saya (Goldsmiths University) di Inggris. Teman main saya kebanyakan dosen-dosen senior di sana, bukan mahasiswa. Saya bahkan memenangkan banyak penghargaan karena semua riset saya terindeks Scopus, Alhamdulillah.

Saya bersyukur sekali. Setahun menyelesaikan magister (S2), saya punya lima riset dan tiga di antaranya mendapatkan penghargaan internasional.

Alasan ini yang kemudian membuat pihak Goldsmiths University menyekolahkan saya tanpa seleksi, untuk lanjut ke jenjang doktor atau S3 dengan biaya hidup dan uang jajan sebesar lima kali lipat beasiswa Chevening.

Allah memang Maha baik ya, dibalik semua kegagalan dan perjuangan saya, ada Dia yang selalu melihat saya dan kita semua yang bersungguh-sungguh terhadap mimpi dan cita-cita kita masing-masing.

Ada pepatah Arab yang cukup terkenal dan benar-benar menguatkan saya hingga sampai di titik ini. Man jadda wajada, barangsiapa bersungguh-sungguh pasti akan dapat. Man shabara zhafira, siapa yang bersabar maka ia akan beruntung. Man saara ala darbi washala, siapa yang berjalan di jalannya, akan sampai (tujuan).

Tidak cukup sampai di situ, usai menyelesaikan S3, saya langsung bekerja di BRSC, sebuah lembaga riset terbesar di Inggris dan saya sering menghendel riset-riset besar di sana.


Alhamdulillah-nya juga, saya dipercaya menjadi bagian dari PBB bersama Unicef untuk menyelesaikan....

Pause. Tiba-tiba terdengar suara Adhira teriak-teriak dari teras dengan motor matic-nya yang masih menyala. Kisah perjalanan S2 dan S3 Khalfan yang begitu menginspirasi, harus terhenti sesaat.

"Ya Allah, kenapa harus datang di timing seperti ini sih adikku Adhira tersayang, termanis, ter-unyu-unyu," gumam Ismi dalam hati sambil menyeka air mata dan bergerak membuka pintu pagar untuk Adhira.

Post a Comment for "Perjalanan S2 dan S3 Khalfan yang Menginspirasi #DDA4"