Widget HTML #1

4 Tahun Ngebucin #DDA6

Ilustrasi. (Sumber: Gambar Kartun Pro)

"Cepat packing sekarang sebelum semuanya terlambat Khalfan," ucap Ismi tegas.

"Teeetttt...teetttt (dering handphone), Sheila, cepet siapin baju dan beberapa perlengkapan untuk dua hari ke depan ya. Sore ini kita harus berangkat temani Khalfan. Rumit sekali ini masalahnya. Segera ya, Ainunku," ucap Habibie dari telpon. Ismi dan Khalfan hanya diam memperhatikannya.

"Ok, saya harus lihat Adhira sekalian packing. Nanti berkabar saja via telpon. Minta kartu namamu Khalfan! (sambil menjulurkan tangan).

Oh ya, satu lagi. Bang Habibie tolong pantau Khalfan. Jangan biarin dia nyetir sendiri, pasti pikirannya sedang nggak fokus," ucap Ismi sembari mengambil kartu nama dan pergi meninggalkan mereka berdua.

"Ini kartu kredit saya. Password-nya 9726***, tolong dibantu bayarkan ke kasir," ucap Khalfan lemas.

"Sorry Khalfan, untuk kali ini saya tidak terima tawaran Anda. Soalnya amplop nikahan saya sama Ainun belum habis sebulan ini, hehe," ucap Habibie sembari bergerak ke kasir. Khalfan belum bisa tersenyum. Badannya masih kaku, seribu pertanyaan menghiasai isi kepalanya.

***

Beberapa tahun lalu

"Adhira, coba duduk dulu. Ayah mau ngobrol sebentar sama anak perempuan ayah," ucap pria kelahiran '52 itu.

"Ayah mau tanya. Anak perempuan ayah ini kan sudah selesai wisuda S1. Sekarang, apa yang sudah terpikirkan olehmu, nak?" buka sang ayah. Kopi yang baru disajikan di meja, masih mengepulkan asap.

"Kalau ayah ridho, Adhira mau lanjut S2 dulu ayah," ucap wanita pemilik lesung pipi itu penuh santun, wajahnya merunduk ke bawah.

"Ayah insyaAllah ridho-ridho saja. Tapi kan ayah ini sudah tua, tidak sanggup lagi membiayai kuliahmu seperti S1 dahulu," ucap sang ayah dengan wajah datar. Sesekali diteguknya kopi yang masih mengepul di hadapannya.

Sesaat suasana hening..

"Atau, apakah tidak lebih baik kalau kamu menikah dulu. Nanti suamimu bisa menjaga sekaligus membantu mencarikan biaya kuliah untukmu," ucap sang ayah memberi saran.

Mendengar ucapan tersebut, Adhira seolah menarik nafas panjang. Sesuatu yang sangat ditakutkannya, kini baru saja diperdengarkan. Adhira takut menikah sebelum meraih mimpi-mimpinya.

"Maaf ayah, boleh tidak kalau ayah percayakan Adhira untuk berusaha sendiri dulu, dalam mengejar mimpi-mimpi Adhira? 

Adhira ingin menjadi anak yang kuat berdiri di atas kaki Adhira sendiri, ayah. Tanpa ada embel-embel suami atau siapapun itu selain ayah dan keluarga.

Adhira bisa kerja part time, ayah. Adhira bisa ngajar ngaji anak-anak TPA di masjid dekat kontrakan Adhira.

Adhira juga bisa lamar kerja di sekolah tempat teman-teman Adhira mengajar. Kemudian malamnya bisa ngajar privat juga. InsyaAllah semua itu bisa menutupi kuliah S2 Adhira. Dan itu pun kalau ayah ridho," ucap Adhira pelan, matanya mulai berkaca-kaca.

"Sini, lihat ayah. Siapa sih yang nggak percaya sama Adhira. Ayah tahu kamu bisa melakukan semuanya nak. Kamu itu pekerja keras, ayah tahu soal itu. Tapi ayah mau kamu itu punya seseorang yang bisa mendampingimu melewati semua ini, tidak sendirian," ucap sang ayah penuh wibawa.

"Adhira mau S2 dulu ayah. Kalau ayah ridho, kita akan buka pembicaraan lagi soal menikah ini, di usia 25 nanti. Boleh ayah?" tanya Adhira sedikit ketakutan.

"Haha, baiklah. Emang siapa sih yang maksa anak ayah menikah sekarang. Ayah kan cuma memastikan saja, dan sedikit memberi masukan," ucap sang ayah santai.

"Alhamdulillah, berarti boleh nih Adhira S2 dulu?"

"Bolehhhh," ucap sang ayah panjang. Adhira memeluk ayahnya sembari berucap "terima kasih ayah. Pria terbaikku."


***

"Khalfan, aku udah di depan hotel nih. Ayo ke mobil," ucap Habibie singkat.

"Baik, saya sudah sampai lobi nih. Tunggu yaa," ucap Khalfan terburu-buru.

"Plukk," suara pintu mobil ditutup. Khalfan duduk di depan, tepat di samping Habibie yang menjadi tukang setir petang itu. Roda empat Pajero milik Habibie melaju, aroma kopi yang menjadi pengharum mobil Habibie menemani keheningan perjalanan mereka sore ini.

Setelah 15 menit perjalanan, Khalfan pun buka suara.

"Boleh putar musik," tanya Khalfan.

"Bolehhh. Apa sih yang nggak buat kamu bro, hehe," jawab Habibie sedikit mencairkan suasana.

Khalfan menyalakan bluetooth HP-nya untuk menyambungkan ke MP3 player di mobil Habibie. Ia memutar lagu jazz satu-satunya yang ada di file smartphone-nya. Lagu yang diputar setiap hari selama di Inggris. Lagu favorit yang punya cerita panjang di balik semua itu.

(Musik diputar)

"Eh, tunggu, tunggu. Perasaan lima tahun lalu, Anda ini paling alergi dengan musik jazz. Kok sekaranggggg...?"

"Panjang ceritanya Bie," jawab Khalfan singkat.

"Ya udah, cerita dong," timpal Habibie.

"Harus kali ya cerita soal ini?" 

"Harus!" jawab Habibie maksa.

"Ok deh, jadi gini ceritanya..

Saat S2 di Inggris dulu, aku nggak sengaja lihat Adhira posting salah satu klip videonya Tompi. Judulnya ya yang kita dengar sekarang ini. Terus sejak itu aku coba putar-putar beberapa lagu Tompi lainnya.

Setelah berkali-kali putar lagu Tompi, jadi suka deh haha, simple. Bahkan Bie, sekarang semua lagu jazz yang dinyanyikan sama musisi Tanah Air, semuanya sudah pernah aku dengar, Bie.

Akhirnya aku mulai tahu kalau lirik lagu-lagu jazz itu sebenarnya maknanya dalam-dalam. Terus menyanyikannya ternyata tak semudah yang kita bayangkan. Penuh teknikal di atas rata-rata. Hanya orang tertentu dengan karakter tertentu saja yang bisa menyanyikan aliran musik jazz.

"Sering lihat story Adhira?" tanya Habibie penasaran.

"Nggak, justeru malah IG-nya pun belum aku folback sampai sekarang haha," jawab Khalfan.

"Kok gitu?"

"Ya emang gitu. Berusaha menghindar sebelum tiba waktu yang benar-benar tepat. Biar Allah saja yang atur, kita manusia berusaha sesuai apa yang Allah kehendaki saja Bie."

"Emang apa usahamu selama ini buat dapetin Adhira?"

"Harus ceritain semua ya?" tanya Khalfan balik.

"Iya dong, wajib hehe," jawab Habibie singkat.

"Ok, asal kamu tahu bro. Aku sudah nabung emas di Pegadaian Syariah sejak S1 dulu Bie, wkkwwkq.

Sudah hampir 7 tahun nabung gitu. Bahkan Bie, gajiku selama jadi tim riset di Inggris dalam beberapa tahun ini, hampir 80 persennya kusisihkan untuk tabungan emas buat Adhira. Buat Adhira kalau Allah berkehendak ya.

Jadi gaji aku di salah satu pusat riset tempat aku bekerja sekarang itu, kalau dirupiahkan dengan kurs dolar sekarang itu lebih kurang Rp 87 juta per bulan. Dari uang itu aku pakai untuk kebutuhan sehari-hari hanya 20 persen, Bie. Soalnya apartemen dan kendaraan selama di sana sudah disediakan.

"Terus untuk orangtuamu gimana?" potong Habibie.

"Nah, waktu aku S3 dulu, sebelum aku kerja, kan beasiswaku sebesar 5 kali lipat beasiswa Chevening, soalnya beasiswa itu langsung dari kampus tempatku S2 dulu. Mereka biayai aku S3 secara khusus, melalui jalur mahasiswa berprestasi. Aku juga heran kenapa bisa dapat beasiswa itu Bie.


Terus, karena beasiswanya gede dan buanyak banget, aku sempat sekolahin adikku S2 di UGM sampai selesai dari beasiswaku S3 itu. Bahkan dengan beasiswa itu, adikku bisa kuliah sambil sewa apartemen dan beli mobil second juga di Jogja.

Dia bawa mama saat S2 dan dari beasiswaku itu, cukup buat kami semua sekolah dan menghidupi mama. Beasiswanya betul-betul gede Bie. Soalnya yang dapat beasiswa itu langsung disiapkan ke pusat riset tempat di mana aku bekerja sekarang.

Saat aku selesai S3 dan sekarang sudah kerja, adikku juga sudah bekerja menjadi dosen di salah satu kampus di Jakarta.

Katanya gini Bie "Abang kan sudah perjuangkan S2-ku dulu dan juga kehidupan mama, sekarang gantian. Biar dia yang hidupi mama dan Abang bekerja saja untuk persiapan nikah. Jangan pernah kirim uang ke Indonesia kecuali Abang ada niat meremehkan aku," gitu katanya bro.

Jadi aku gak berani kirim uang ke Indonesia, takut ada yang tersinggung dan merasa diremehkan nantinya, hehe.

Dan di sana adikku alhamdulilah untuk hidup di Jakarta udah ok lah. Gajinya dua kali UMP di sana, sebab dia punya bisnis konsultasi online juga, sambil ngajar sebagai dosen. Nah, jadi gitu ceritanya Bie.

"Terus emasnya sudah berapa gram sampai sekarang?"

"Alhamdulillah Bie, cukuplah beli rumah, mobil dan nikah di hotel agak mewah dikitlah hehe, plus sama mahar beberapa ratus gram. Alhamdulillah.

"Haaaa, bahasa apa itu, beberapa tapi ada ratus gramnya wkwkwq," tawa Habibie.

"Ok, selain soal persiapan dan usahamu yang sudah 7 tahun itu, mengalahkan semua orang yang pernah kukenal, termasuk Dilan, hehe, terus kamu pernah kasih clue nggak, atau semacam kode ke Adhira gitu," tanya Habibie.

"Pernah Bie. Waktu itu ceritanya super-duper lucu dan konyol. Waktu S1 dulu aku pernah ajak Adhira berjuang bersama.

Jadi ceritanya, aku itu pernah coba ajak Adhira dengan tawarin ikut kompetisi lomba debat bahasa Inggris se-Indonesia. Waktu itu aku takut sekali. 

Sewaktu aku ajak Adhira via WA, rasanya panas dingin Bie. Takut aja kalau tiba-tiba dia marah ke aku. Takutnya dikira nggak sopan atau gimana gitu. Soalnya ajak orang yang teman juga bukan, kenalan dekat juga bukan. Waduuh, panas dingin Bie rasanya, hehe.

Tapi tahu nggak jawaban Adhira apa? 

"Apa?" tanya balik Habibie.

"Dia mau Bie haha. Kami persiapannya singkat sekali. Cuma 15 hari dan target aku jujur, bukan untuk menang. Tapi untuk melihat sejauh mana Adhira mau diajak berjuang bersama.

Dan dia betul-betul serius Bie. Dia bantu siapin semua bahan untuk presentasi debat dan dia juga bantu untuk registrasi dan sebagainya.

Dia betul-betul bisa jadi teman berjuang Bie. Aku salut.

"Terus kalian menang?" potong Habibie.

"Ntar dulu, ceritanya belum habis.

Setelah kami lulus verifikasi, kami berangkat berdua. Waktu itu debatnya berlangsung di kampus UI. Itu juga sangat berkesan buat kami berdua karena seumur-umur baru kali itu kami menginjakkan kaki di kampus impian sejuta Maba itu.

Terus tahu nggak, waktu penyisihan debat, kami mengalahkan kampus-kampus besar se-Indonesia seperti Undip, UNPAD, Kampus Trisakti dan masih banyak lagi Bie.

Sayangnya, yaaa, kami cuma finish di empat besar. Yang masuk babak final kampus-kampus pemain garis keras seperti UI, UGM dan ITB.

Tapi walaupun nggak masuk final, aku sudah sangat bersyukur dan bahagia, Bie. Kami bisa masuk empat besar se-Indonesia, mengalahkan kampus-kampus besar nasional lainnya. Padahal persiapannya cuma 15 hari lho.

Dan aku salut soal bagaimana Adhira berjuang bersama aku waktu itu. Cita-cita kami buat banggain kampus. Walau sebenarnya aku punya dua cita-cita waktu itu.

Buat banggain kampus mungkin kami gagal, tapi buat melihat bagaimana Adhira bisa diajak berjuang bersama, aku rasa itu sesuatu yang tak ternilai harganya Bie. Aku meraih apa yang menjadi impianku sebelumnya, bisa melihat sejauh mana Adhira bisa diajak berjuang dari dekat.

"Terus, kenapa nggak ungkapin aja ke Adhira tentang perasaan kamu sewaktu di Jakarta itu? Kayak taaruf gitu, tapi lama wkwkwq, biar saling tahu aja. Kan chemistry-nya udah dapet," tanya Habibie

"Nah itu dia Bie. Adhira itu wanita yang istimewa dan mulia bagi aku, selain ibuku sendiri yang tentunya jadi urutan pertama.

Aku nggak mau menodai kemuliaan seorang Adhira dengan yang namanya pacaran atau taaruf jangka panjang atau apalah namanya, sama aja, itu pertama.

Kedua, aku pernah baca sebuah riset yang dilakukan oleh peneliti dari Researchers at National Autonomous University of Mexico.

Dalam riset itu dijelaskan, setiap kita punya hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri saat bersama pasangan kita, DetikNews (9/12/2009).

Sayangnya, efek hormon romantis yang serasa dunia milik berdua itu, atau hormon nge-bucin itu, hehe, cuma 4 tahun lamanya Bie.

"Haaa, cuma 4 tahun?" tanya Habibie kaget.

"Iyaaaa, cuma 4 tahun Bibie," jawab Khalfan memelas.

"Alhamdulillah, untung kita nggak pacaran dulu ya Sheila. Bisa pakai nge-bucin untuk empat tahun ke depan deh, wahahaha," tawa Habibie pecah.

"Haa, Sheila?" tanya Khalfan kaget, sebab dikiranya hanya mereka berdua yang di mobil. Padahal ada tiga kursi di belakang yang terisi penuh. Dua wanita nyimak, seorang wanita nyimak plus mengawang-ngawang. Wanita itu tengah berada di puncak kebahagian dalam hidupnya.

****

"Apa, kita pergi semobil sama Khalfan? Nggak berani Adhira kakak," ucap Adhira sepontan.

"Terus kakak tahu dari mana soal Khalfan?" tanya Adhira lagi, kali ini dia penasaran setengah mati. Sebab seingatnya, Adhira tak pernah cerita ke siapapun tentang sosok pria yang ia kagumi, termasuk ke Ismi.


"Udah ya Adhira, nggak usah bahas sesuatu yang timing-nya nggak pas. Sekarang packing dan kita harus pergi dalam 20 menit ke depan. Sebentar lagi temannya Khalfan yang bernama Habibie, akan datang jemput kita. Sama istrinya juga, nggak usah takut. Cepetan," tegas Ismi. 

"Kakak mau lihat Adhira pingsan sepanjang jalan, Haaa?" sanggah Adhira berusaha agar tidak semobil dengan Khalfan.

"Dengar ya Adhira-ku sayang, dengar ya, butuh perjalanan enam jam lebih untuk sampai ke kampungmu. Sekarang sudah sore. Mobil sewa nggak ada lagi. Udah, packing sekarang. Cepetan, nggak usah sanggah-sanggah lagi," kali ini nada suara Ismi naik turun.

Habibie tiba di halaman kontrakan Adhira. Sebuah koper diseret menuju pintu, ada wajah Adhira terlihat di sana.

"Ayo, kita turun dulu bantuin Ismi sama Adhira," ucap Habibie ke Sheila.

Sheila yang sudah tahu bagaimana panjang lebar drama true story Khalfan dan Adhira dari suaminya (Habibie), seolah terhanyut dan ikut merasakan apa yang dirasakan Adhira saat ini. 

"sini peluk kakak," ucap Sheila sembari menghampiri Adhira yang seolah-olah sudah kenal lama. Adhira yang kebingungan kenapa situasinya bisa menjadi seperti ini, hanya bisa berkaca-kaca saat berada dipelukan Sheila. Nyaman sekali.

"Udah, peluknya nanti dilanjut di mobil aja. Sekarang kita harus segera pergi, kasian kalau Khalfan nunggu lama di hotel," jelas Habibie sambil mengangkat koper milik Adhira ke bagasi Pajeronya. 

Tiga menit kemudian mereka tiba. "Khalfan, aku udah di depan hotel nih. Ayo ke mobil," ucap Habibie singkat.

"Baik, saya sudah sampai lobi nih. Tunggu yaa," ucap Khalfan buru-buru, deru nafasanya terdengar dari handphone. Suara Khalfan di-speaker oleh Habibie, terdengar oleh mereka semua di mobil.

"Bie, Khalfan marah nggak ya kalau dia tahu kita jugu ikut semobil," tanya Ismi dari kursi belakang.

"Ntar kalau Khalfan buka pintu mobil, terus dia lihat kita plus ada Adhira, gimana ya? Apa dia nggak jadi masuk nanti?" tanya Ismi penasaran.

Muka Adhira semakin memerah. Takut, namun bercampur bahagia karena di kondisi sulit seperti ini dia bisa bersama Khalfan lagi. Adhira masih ingat saat S1 dulu, mereka pernah sama-sama ikut kompetisi debat di kampus UI enam tahun silam.

"Nah, itu Khalfan kayaknya, coba buka kaca depan," ucap Sheila yang juga sengaja duduk di belakang, agar Khalfan punya space di kursi depan, tepat di samping Habibie.

Setelah Khalfan masuk mobil, terjadilah keheningan yang luar biasa di sana. Sepanjang 15 menit perjalanan, hanya suara knalpot dan klakson para pengendara jalanan yang sesekali mengganggu telinga.

Khalfan meminta izin kepada Habibie untuk memutarkan sebuah lagu jazz kesukaannya.

Ia bercerita panjang lebar di situ tentang bagaimana ia menyimpan rapat-rapat perasaannya kepada Adhira sejak 7 tahun silam, tentang berjuang bersama dan bagaimana menjaga kemuliaan seorang Adhira, hingga persiapan menikah yang luar biasa matang dan paripurna.

***

Sayangnya, efek hormon romantis yang serasa dunia milik berdua itu, atau hormon nge-bucin itu, hehe, cuma 4 tahun lamanya Bie.

"Haaa, cuma 4 tahun?" tanya Habibie kaget.

"Iyaaaa, cuma 4 tahun Bibie," jawab Khalfan memelas.

"Alhamdulillah, untung kita nggak pacaran dulu ya Sheila. Bisa pakai nge-bucin untuk empat tahun ke depan deh, wahahaha," tawa Habibie pecah.

"Haa, Sheila?" tanya Khalfan kaget. "Tunggu," kali ini Khalfan seperti ketakutan. Perlahan ia pun menoleh ke belakang dan....

"Na..nana..na..na, nggak niat putar balik kan Khalfan?" tanya Habibie seperti besenandung berusaha membuat lelucon, hatinya takut, bercampuraduk dan berkecamuk.


[1]  [2]  [3]  [4]  [5]  [6]

Post a Comment for "4 Tahun Ngebucin #DDA6"