Sampai Hadir ke Alam Mimpi #2DDA
Ilustrasi: Facebook |
Sudah sepekan terakhir Ismi tidur di rumah sewa wanita pemilik lesung pipi itu. Ia semakin khawatir dengan sahabat rasa adik kandung semata wayangnya ini. Pasalnya Adhira banyak murung, melamun sendiri dan kerap tidak fokus dalam beberapa pekerjaannya.
Adhira Ulya Fitria. Diakui sebagai sosok wanita pendiam, tetapi bukan tipikal cewek mager (malas gerak) sebagaimana kebanyakan milenial sekarang. Meski begitu, akhir-akhir ini Adhira tak menjadi dirinya sendiri. Ia lebih memilih diam seribu bahasa di berbagai kondisi.
Adhira mulai tidak nyambung bila diajak ngobrol. Dia tidak menjadi Adhira yang dulu, Adhira yang punya kebiasaan paling cepat ngeh (nangkap) saat berada dalam sebuah percakapan, entah itu serius atau bercanda.
"Dek, tahu ga kenapa bentuk cicin itu bulat?"
Adhira masih terdiam.
"Soalnya bentuk love-nya udah di hati kakak, wahahah," tawa Ismi pecah. Namun Adhira tak merespon sama sekali. Biasanya Adhira paling semangat kalau diajak guyonan receh ala-ala 'Tahu ga kenapa?' seperti yang sedang populer sekarang ini.
"Hey Adhira!" kali ini Ismi menyentuh pundak sahabatnya itu, mencoba memecah lamunan panjang Adhira.
"Iya kak. Cicin siapa ya tadi yang hilang?" jawab Adhira kaget.
"Haaa, cicin hilang?" Ismi kembali terheran. Ia mulai paham tentang sikap yang tak biasa dari sahabatnya ini.
"Hari ini ke toko buku yuk, kayaknya seru. Ini kan akhir bulan di awal tahun pertama. Kayaknya banyak buku best seller deh," ucap Ismi kembali memecah suasana dan berusaha mengalihkan seribu tanda tanya pada Adhira.
Kebetulan jarak toko buku dimaksud lumayan jauh, sekitar 20 menit dari tempat tinggal Adhira saat itu.
Di tengah perjalanan, Ismi mulai membuka pembicaraan. Ismi ingin tahu lebih banyak tentang penyebab perubahan sikap yang dramatis pada Adhira akhir-akhir ini. Sangat menakutkan.
"Dek?"
"Iya kak ustazaaaah. Eh, kak udaranya sejuk ya kak pagi ini," ucap Adhira polos.
"Iya adikkkkkuuuu. Hmm, kakak boleh tanya sesuatu gak?"
"Soal apa kak?" tanya Adhira balik.
"Hmm, gini dek. Adhira kan sudah kenal lama sama kakak, begitu juga kakak sama Adhira, sudah kenaaaaal banget. Bisa gak kalau Adhira cerita sesuatu bila selama ini ada yang mengganjal perasaan Adhira?"
"Ngeganjal apa kak? Kayak mobil ganti ban aja, pake ngeganjal segala," timpal Adhira mencoba membuat tawa dan menghentikan Ismi yang mulai mengintrogasi perasaannya lebih dalam.
"Ok, gitu. Ya udah deh, itu toko bukunya sudah dekat juga, tolong tekan tombol e-parking-nya ding," seloroh Ismi.
"Ok kak," jawabannya.
Hampir lima jam mereka menghabiskan waktu di toko buku itu. Mulai dari cuci-cuci mata, sampai belanja besar-besaran. Ismi tahu betul, satu-satunya tempat belanja yang bisa buat bahagia Adhira kalem si pemilik lesung pipi ini adalah toko buku.
"Kamu bebas belanja tiga buku apa saja, kakak yang bayarin deh. Kebetulan kartu kredit kakak ada diskon belanja di toko ini"
"Iya kak," jiwa agresif Adhira muncul tiba-tiba. Seperti seseorang yang baru diberi kejutan ulang tahun, padahal masih sepekan ke depan.
Dua jam pertama mereka gunakan mencari buku tentang psikologi yang merupakan jurusan Adhira saat ini. Satunya lagi buku motivasi. Masing-masing setebal 300-an halaman.
"Masih ada sisa satu buku lagi, hehe. Kak, boleh ga kalo Adhira pakai untuk beli novel?" pinta memelas Adhira satu ini cukup membuat Ismi terkaget plus pucat.
Ismi tahu betul kalau selama lima tahun bersahabat, temannya satu ini tidak suka baca novel, apalagi sampai membelinya.
Pernah suatu ketika sebuah novel milik seorang penulis terkenal sempat booming dan menjadi mega best seller dua tahun silam. Semua orang ikut baca novel itu, termasuk mereka yang selama ini diketahui tidak hobi bahkan anti baca.
Namun tidak dengan Adhira. Dia punya hobi membaca, tapi tidak suka drama. Dari kehidupan hingga genre bacaan, semuanya harus realistis. Dan Ismi tahu betul tentang Adhira soal itu. Dan kini ia terkaget malah Adhira minta dibelikan novel.
"Ok deh, kita ke rak novel. Di sudut kanan depan tuh," ajak Ismi tanpa bertanya lebih jauh.
Setelah mondar-mandir di sekitaran rak novel, kali ini mata Adhira tertangkap basah oleh Ismi. Sahabatnya yang kalem dan punya lesung pipi itu tak berkedip saat melihat buku bersampul oranye di sudut rak seberang sana.
Jauh memang, tapi cara pandang Adhira tidak bisa direkayasa. Matanya jelas sekali ke buku itu.
Judulnya, 'Mencintai dalam Diam'. Bersampul oranye, seorang wanita berhijab dengan angle melihat ke samping menghiasi cover depan novel itu.
"Eh, kayaknya kakak suka deh buku itu," seloroh Ismi sambil menarik tangan Adhira ke arah rak novel yang dimaksud.
Alangkah terkejutnya Adhira ternyata yang dimaksud Ismi adalah buku yang ditatapnya lekat-lekat sejak masuk ke sekitaran rak novel tadi.
"Iiihhh, kak Ismi. Kok pilih buku itu sih?" ucap Adhira manja, tapi aura bahagia tercetak jelas di wajahnya, tak bisa menipu lagi.
"Kakak pengen baca aja," ucap Ismi datar. Hati Ismi ingin tertawa pecah. Ia lega, mungkin ini bisa jadi benang merah dan pintu penyikap tabir tentang apa yang ditutupi rapat-rapat oleh Adhira selama ini.
Usai ke kasir membayar tiga buku tadi, mereka mencoba melepas lelah dengan menyeruput es coklat di caffee dalam toko buku itu. Toko buku paling besar dan paling mewah di kota ini, jangankan caffee, taman bermain anak pun disediakan di lantai atas.
Adhira dan Ismi berada di caffee berbentuk ruang kaca, mereka menikmati tiap seruput es coklat yang dipesan sejak tadi dengan pemandangan para pembeli buku yang hanya dibatasi oleh selembar dinding bening.
Adhira kembali mengeluarkan tiga buku yang baru mereka beli tadi. Ismi tetap menahan diri untuk tidak bertanya kenapa Adhira tertaut sekali pada novel itu, tak biasa baginya.
"Bukunya bagus-bagus ya dek," buka Ismi.
"Iya kak," jawab Adhira semangat, namun matanya tak berkedip, karena sedang membaca sinopsis di belakang novel bercover oranye itu. Buku dengan genre yang begitu asing dalam hidup Adhira selama ini.
"Nah, gitu dong. Calon psikiater ga boleh sering-sering melamun. Ntar siapa coba ya nyembuhin kami-kami ini," ucap Ismi memancing tawa.
"Ah kakak, sa ae," kebiasaan menyunggingkan bibir kembali dilakukan Adhira. Kali ini lesung pipinya tercetak jelas.
"Alhamdulillah, banyak-banyak senyum ya dek. Hehe," sambung Ismi.
"Iya kakak Ustadzah-kuuu," kali ini Adhira menarik pipi Ismi sembari memaksa membentuk raut wajah senyum.
Mereka kembali tenggelam dalam guyonan receh. Dua jam sudah di caffee berdinding kaca itu. Artinya, total sudah lima jam yang mereka habiskan di toko buku ini, mulai dari belanja sampai ngawur ngidul.
Adhira kelihatan lebih lega. Melamunnya mulai berkurang, isi sinopsis novel oranye yang baru ia baca tadi sepertinya mampu menawarkan sedikit harapan bagi Adhira. Ismi masih belum tahu apa isi sinopsisnya dan mencoba membiarkan Adhira lebih leluasa mengeksplor diri sendiri.
***
Pesawat bersiap untuk take off. Adhira duduk tepat di samping kaca sebelah kiri. Ruang tunggu bandara terlihat jelas dari jendela kabin pesawat. Seorang pria yang diharapkan menua bersamanya, kini duduk tepat di sebelah kanannya.
"Adhira ngantuk," ucapnya manja sambil menyenderkan kepala di bahu pria yang begitu ia sayang ini. Tangan kanannya menggenggam tangan kiri si pria itu, hangat sekali.
Ia berusaha pura-pura tidur, padahal ia tidak tertidur. Ia menikmati setiap detik demi detik berada di bahu yang kini halal untuk dijadikan tempat senderannya.
Tanpa terasa air mata Adhira menetes hangat di pipinya. Adhira nyaman sekali dalam perjalanan itu, dalam dekapan seseorang yang sangat ia kagumi sejak dulu, kini dan nanti.
"Ya Allah Adhira, Adhira, Adhira, Adhira," tangis sesegugukannya memaksa Ismi membangunkan Adhira.
"Kamu mimpi apa sayang," tanya Ismi kepada Adhira yang kini sudah terjaga dari tidurnya.
Sambil menyeka air mata, Adhira memeluk Ismi. "Kaaaaakkkkkk," teriak Adhira pelan, tapi panjang. Dan Ismi berusaha untuk paham apa yang tengah dirasakan sahabat rasa adik kandungnya ini.
Dalam pelukan Ismi, air mata Adhira mengalir semakin deras saja. Ia menumpahkan segala emosi dan harapnya. Tangisnya sampai cegugukan. "Kenapa anak ini," tanya Ismi dalam hati.
"Adhira ingat ya, apapun masalah kita, libatkan Allah di sana. Bahkan Allah sendiri bilang, mintalah kepada-Ku niscaya akan Ku-kabulkan bagimu. Percaya deh, libatin Allah ya dek," ucap Ismi mengutip Surah Ghafir (40) ayat 60.
"Kita punya Allah, Adhira. Jadi jangan khawatir, biarkan semua Allah yang tentukan. Tugas kita menyempurnakan tiap ikhtiar dan memintanya dalam do'a, selebihnya serahkan pada Dzat pemilik alam semesta ini, Dzat pemilik kuasa sekaligus Dzat pembolak-balik hati manusia.
Jam menunjukan pukul 02.15 pagi. Ismi tak banyak bicara. Ia juga tak mengajukan pertanyaan apapun tentang mimpi Adhira yang membuatnya menangis tersedu-sedu sebagaimana yang disaksikannya tadi.
Hanya saja di akhir mimpi itu Ismi sempat mendengar nama seseorang yang begitu asing baginya, tetapi disebut oleh Adhira dalam tangis panjangnya sebelum terjaga tadi. Nama itu disebut sekitar tiga kali.
Ismi seperti mulai mendapat titik temu. Jiwa detektif mulai muncul sambil berucap dalam hati, "Sampai hadir ke alam mimpi. Siapa lelaki itu?"
Post a Comment for "Sampai Hadir ke Alam Mimpi #2DDA"
Post a Comment