Widget HTML #1

Senja Terakhirku dengan Ayah


Senja terakhir bersama ayah di Lapangan Blang Padang Banda Aceh 2016. Foto: Dok Pribadi

Rabu, 14 Desember 2016. Hari itu kelam sekali. Saya menangis dalam tangis yang panjang. Tidak ada luka seperih hari itu. 

Mundur sehari. Malamnya aku baru saja pulang shalat Isya di dekat komplek rumah di Lambaro Angan. Kuusap handphone dan ada banyak sekali panggilan tak terjawab, mencapai puluhan panggilan.

Tidak biasanya. Perasaanku mulai tak enak. Kutelpon balik ke salah satu nomor, sebab ada beberapa nomor keluarga di list panggilan tak terjawab malam itu.

"Apa kesibukan di kampus sekarang? Bisa pulang ke kampung sebentar?" ucap seorang paman dengan nada tak biasa.

Aku tahu besok midterm (ujian tengah semester), tapi lupakan. Kukemas beberapa baju dan..

Sekitar pukul 4 pagi aku pun tiba di Meulaboh. Tempat paman (adik kandung mama) yang menelponku semalam. Aku harus stay beberapa jam di sana karena harus menunggu jadwal feri (siang).

Perjalanan pulang ke Simeulue memang tak semudah anak Bireuen yang bisa pulang sesuka hati di akhir pekan. Perjalanan ke Simeulue harus menempuh jalur darat sekitar satu malam perjalanan dan jalur laut satu malam perjalanan.

Air mata 14 Desember 2016 

Sekitar pukul 11.30 WIB kami bergerak dari rumah paman menuju ke pelabuhan feri. Awalnya biasa saja. Namun sekitar 15 menit perjalanan, ntah kenapa semua kenangan bersama ayah mulai terbayang. 

Aku seperti kembali ke masa lalu. Ingatanku seperti sedang memutar film panjang kehidupan bersama ayah. Aku ingat saat ayah membelikan aku tas, lengkap sama peraut dan pensil warna-warni waktu aku pertama masuk SD. Aku ingat saat ayah mengucap "anak papa dapat ponten seratus lagi hari ini kan?"

Kemudian aku ingat pula saat-saat ayah menyampo kepalaku di waktu SD. Aku ingat saat ayah pulang dari kota (kebetulan waktu itu ayah sebagai lurah dan sering ke pusat kota/kabupaten) dan pulang malam selalu bawa oleh-oleh.

Ntah itu wafer atau roti selai, pokoknya bahagia aja kalau momen nunggu ayah pulang. Sudah tertidur jauh malam pun, suara motor ayah bisa membangunkanku. Aku tanda sekali suara motor ayah.

Terus kalau ayah gajian, kami selalu ke kota sekadar pangkas rambutku atau jalan-jalan semata. Pakai motor dinas ayah, aku paling suka peluk tubuhnya dari belakang. Kalau hujan, kami pakai mantel jaman old yang kayak selimut, cuma kelihatan kepala pengemudi dan muat untuk berdua.

Aku tak tahan dengan semua ingatanku di masa lalu. Kutumpahkan semua kenangan itu lewat air mata. Aku hanya terdiam di balik jeket yang kututupi di mukaku. Perih sekali rasanya. 

Mobil paman siang itu terasah sunyi kelam. Hanya lantunan surah Al-Baqarah yang terus diputar sejak awal perjalanan tanpa ada yang berani membuka pembicaraan. Tatapan kami kosong antara satu sama lain.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba mobil terhenti. Tangis panjangku sudah selesai sekitar 15 menit yang lalu. Paman yang saat itu mengangkat handphone-nya, bergegas keluar mobil dan menjauh sekitar 20 meter dari dekat kami. 

Aku perhatikan ada sesuatu yang sangat serius yang sedang dibicarakan di sana. Namun tatapanku tetap saja kosong.

Beberapa saat kemudian paman yang tadinya di luar, kini kembali ke mobil. 

"Kalian aja yang bicara, saya ga sanggup," ucap paman lantang sambil menahan air mata dan menyerahkan handphone ke tanganku. 

Saat kuambil, tatapannya dalam sekali untukku. Ya, ternyata kabar perih itu kian nyata.

"Nak, pada dasarnya kita semua akan kembali ke sana, ini hanya soal waktu saja. Dan sekarang, yang sabar ya, papa sudah mendahului kita semua," kata Bunda, sepupu ayah dengan nada sayup dari seberang sana.

Aku hanya jawab singkat.

"Selesaikan pemakaman hari ini juga, jangan tunggu saya dari sini," ucapku sambil menyeka air mata.

Perlu diketahui, perjalanan melalui jalur laut dari Meulaboh ke Simeulue sangat lama, lebih kurang satu malam. Aku baru tiba esok pagi. Kukira ayah akan sangat tersiksa jika mereka menunda pemakamannya karena menungguku pulang, sekadar mencium jasad ayah yang sudah dipanggil Sang Ilahi.

Air mataku sudah habis. Aku tak lagi menangis, tetapi paman dan mami (istrinya) mulai berani melepas air mata di hadapanku. Aku malah memberi support kepada mereka untuk sama-sama bersabar.

Saat aku menangis panjang 15 menit lalu, saat semua ingatanku bersama ayah dikembalikan ke masa lalu, kukira itulah firasat saat ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Mereka yang di mobil tak menyadari itu.

Aku sengaja menutup mukaku dengan jaket agar tak terlihat di spion tengah. Mereka mengira aku hanya tertidur, itu saja. Ia, aku tertidur. Tetapi aku tertidur dalam tangis panjang yang tak pernah sesakit itu.

Kenangan terakhir

Jujur aku satu-satunya mahasiswa asal Simeulue yang tak pernah pulang kampung sebelum ayah pergi tuk selama-lamanya. Aku tipikal orang yang suka keras kepala terhadap pendirianku. Saat itu aku hanya akan pulang ketika  mampu meraih sesuatu (pencapaian) yang setidaknya menjadi pembeda antara aku sebelum dan setelah kuliah.

Saat Ramadhan tiba ayah menelponku, sekadar menanyakan apakah pulang atau tidak, seperti teman-teman lain. Alih-alih pengen pulang, malah aku lebih memilih full di Masjid Jami Kopelma Darussalam membantu program Ramadhan di Kampus (RDK) bersama teman-teman di Unsyiah.

Keras kepalaku berlanjut saat libur panjang (3-4 bulan) akhir semester genap. Saat mereka yang lain sibuk menjadwal kapan pulang kampung, aku malah sibuk menjaga Redaksi Sumberpost dan menyelesaikan tugas akhirku di Muharram Journalism College (MJC). Salah satu sekolah jurnalistik milik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh.

Senja terakhir

Singkat cerita, karena aku bandel tak pernah pulang, akhirnya ayah yang menyusulku dari Simeulue ke Banda Aceh. Seperti tidak diterima di akal, ayah stay di Banda Aceh bersamaku hampir tiga bulan, (setelah itu ayah pergi tuk selama-lamanya).


Ada banyak sekali tawa di sini. Mungkin karena akunya yang semakin dewasa, jadi kami kerap bercerita tidak lagi seperti ayah dengan anak, melainkan antara teman dengan teman/sahabat, begitulah kurang lebih.

Aku sering buat ayah tertawa saat makan, saat di motor atau sekadar menikmati senja di sebuah resto sederhana di Banda Aceh. Ayah kebetulan penyuka senja. Kami sering bercerita ngawur ngidul penuh inspirasi di waktu-waktu tersebut, sekadar menanti azan tiba.

Dan momen yang paling membuatku tak tahan hingga saat ini adalah saat di mana ayah menutupi sepatuku dengan sandalnya. Itu adalah senja terakhir kami, setelah itu tak ada lagi senja-senja bersama ayah, tuk selama-lamanya.

Waktu itu tepat sehari sebelum ayah pulang ke Simeulue. Aku bawa ayah menelusuri Kota Banda Aceh untuk yang terakhir kalinya. Perjalanan senja kami berakhir di Lapangan Blang Padang. Kebetulan di sana ada pertunjukan gajah bermain bola dan beruntungnya, momen itu sempat kuabadikan di galeriku.

Berlanjut saat Magrib tiba, kami bergerak ke Masjid Raya Baiturahman, salah satu bangunan bersejarah yang ikonik di Provinsi Aceh. 

Saat itu masjid raya masih dalam renovasi besar-besaran. Tempat wudhu pisah di luar pekarangan masjid. Usai berwudhu, aku spontan meletakkan sepatuku di rak sepatu, sebelum bergerak ke dalam masjid. Ayah yang mengikutiku di samping berujar, "Besok-besok, sepatunya dijaga". 

Ayah menutup sepatuku (yang kupakai hingga saat ini) dengan sandalnya agar tak dicuri orang. Aku hanya tersenyum melihat pemandangan itu.

Senyuman terakhir

Cerita di senja itu berakhir. Esoknya aku harus kerja keras seharian full karena harus merapel beberapa tugas yang belum kukerjakan kemarin, karena menemani ayah untuk terakhir kalinya sebelum pulang ke Simeulue.

Ya hari itu aku benar-benar full di kampus. Ayah yang rencananya akan berangkat nanti malam, kuacuhkan sejenak. Oh ternyata, hari terakhir itu ada yang istimewa. Ayah masak ikan berkuah santan di rumah, enak sekali.

Sedikit sombong, mungkin ayahku tak seperti ayah-ayah yang lain. Dia selain punya leadership yang luar biasa (semoga menurun ke sikapku nanti) dia juga sosok yang mandiri. Sudah terbiasa kerja keras sejak muda bahkan sejak kecil dulu.

Setelah sampai di rumah, kalau tidak salah jelang Magrib, ternyata ayah sudah packing untuk keberangkatannya malam itu. 

"Makan dulu, papa masak tadi," ucap ayah yang kubalas dengan canda,"enak juga masakannya ya ale (bro)". 

Aku makan dengan lahap malam itu, sebab memang sudah sangat lapar karena tak menyentuh nasi sejak siang tadi. Sibuk dengan urusan kampus, redaksi dan lain-lain.

Setelah shalat Isya, kami pun bersegera karena sudah ditunggu mobil sewa di jalan raya. Kebetulan rumahku agak masuk lorong, jadi si supir hanya menunggu di jalan raya karena takut tersesat.

Kuantar ayah dan koper gedenya dengan motorku ke jalan raya, tempat di mana mobil sudah menunggu. Saat itulah momen di mana untuk terakhir kalinya kutatap wajah ayah dalam-dalam, sebelum ia pergi tuk selama-lamanya.

Saat akan naik ke mobil, ayah berdiri di pinggir jalan sembari menatapku lekat. Dan tak kusangka, ayah mencium kepalaku sambil berucap jaga diri dan jaga makan selama di sini ya.

Setelah tiga bulan bersama, kupeluk ayah untuk terakhir kalinya. Suasana di sekitar mobil menjadi hening, hanya suara knalpot yang terdengar pelan saat itu.

Ayah pun naik ke mobil, kututupi pintu sebagai baktiku yang terakhir kalinya untuk ayah. Mobil perlahan melaju, ayah melambaikan tangan dari kaca mobil yang sengaja di buka. Tatapanku kosong, hanya membalas dengan senyuman, lalu aku pun pulang ke rumah.

Ayah balas dengan senyuman. Dan itulah senyuman terakhir ayah sebelum ia pergi tuk selama-lamanya...

Hari ini 14 Desember 2019. Tepat tiga tahun sudah Allah Swt memanggil ayah kembali kepadaNya. 

Ada banyak pesan ayah untukku. Semuanya diceritakan dalam suasana senja seperti yang sudah kuceritakan di awal. Namun ada satu pesan ayah yang paling kuingat lekat, yang lebih kurang seperti ini..

Cukup ayah yang berjuang dalam kebodohan, kamu jangan lagi.

Bagi ayah, sesulit apapun, pendidikan anak adalah yang utama. Aku sering bercerita kalau cita-citaku sederhana, menjadi guru besar (Profesor) pertama dan satu-satunya dari kecamatan dan desaku serta bisa membuka lapangan kerja di sana, apa saja. Dan ayah mengamini itu.

Kami bermimpi bersama dalam angan yang panjang. Kalau ayah masih ada, aku tak tahu apakah ia bangga atau  tidak dengan pencapaianku hari ini.

Kutakut ayah pun menangis karena sudah banyak kupermalukan selama ia pergi dalam istirahat panjangnya.

Dari anak kesayangan ayah
Sabtu, 14 Desember 2019

*Mohon baca Al-Fatihah untuk ayah hari ini

Post a Comment for "Senja Terakhirku dengan Ayah"